Senin, 26 Maret 2012

Tugas 1

Greenpeace : APP Melanggar Hukum Indonesia


Organisasi Lingkungan Greenpeace menyerahkan bukti investigasi rahasia selama satu tahun penuh kepada Kementrian Kehutanan Republik Indonesia yang mengungkapkan skandal tentang perusahaan  Asia Pulp and Paper (APP) yang mereka tuding secara sistematis melanggar hukum Indonesia dengan menghancurkan ramin, spesies pohon yang juga dilindungi secara internasional (CITES).
Kepala Juru Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, Bustar Maitar mengatakan investigasi tersebut dilakukan sepanjang tahun 2011 dengan berkali-kali mengunjungi pabrik Indah Kiat, anak perusahaan APP di Perawang, Sumatera. Pabrik Indah Kiat Perawang merupakan pabrik pulp utama APP di Indonesia yang sangat tergantung pada pasokan kayu pulp MTH dari hutan termasuk hutan rawa gambut.
Tim dari Greenpeace mengambil sampel dari 56 gelondong kayu kemudian sampel ini dikirim ke laboratorium independen kertas di Jerman untuk diverifikasi, dimana seorang spesialis identifikasi kayu yang dilindungi secara internasional mengkonfirmasi bahwa ke-46 sampel adalah ramin.
Di sana para investigator juga berhasil mengidentifikasi kayu ramin bercampur dengan kayu alam lainnya untuk dijadikan bubur kertas. Investigasi ini menunjukkan bahwa pasokan kayu pulp MTH dari daerah tersebut, berisi kayu ramin ilegal, melanggar larangan ramin Indonesia dan peraturan CITES.
Laporan Kementrian Kehutanan mengenai rami merekomendasi larangan pembukaan semua hutan rawa gambut. Pemerintah Indonesia harus mengadopsi hasil laporan ini menjadi kebijakan permanen. Perusahaan harus memutuskan perdagangan dengan APP dan melaksanakan kebijakan untuk memastikan deforestasi nol dalam rantai pasokan.
Setiap negara mengimpor produk dari pabrik APP dengan kaitan dagang dengan Indah Kiat Perawang harus meminta jaminan dari Kementrian Kehutanan Indonesia bahwa mereka akan menerapkan dan menegakkan peraturan CITES yang berkaitan dengan ramin.
Setiap perusahaan yang berbisnis dengan APP memberikan dukungan pendanaan kepada perusahaan yang melanggar hukum Indonesia, meremehkan CITES, dan mendorong harimau Sumatera dan kayu ramin mendekati kepunahan. Konsumen perusahaan harus menghentikan bisnis mereka dengan APP dan menerapkan kebijakan untuk memastikan defortisasi nol dalam ranti pasokan mereka.
Golden Agri-Resources, bagian dari grup Sinar Mas, sudah menerapkan kebijakan mengakhiri semua pembukaan lahan gambut. Grup Sinar Mas secara keseluruhan, termasuk APP, harus menerapkan kebijakan menghentikan semua deforestasi, termasuk melarang pembukaan hutan rawa gambut manapun.
Kayu ramin termasuk golongan Apendix II yang dilindungi dan dilarang diperdagangkan tanpa izin melalui peraturan SK Menhut No. 168/kpts-IV/2001 tentang pemanfaatan dan peredaran kayu ramin dan SK No. 1613/kpts-II/2001.
Sejak masuk ke dalam daftar CITES, sejumlah laporan yang diterbitkan oleh Kementrian Kehutanan telah mengakui pembukaan hutan rawa gambut terus menjadi pendorong hilangnya ramin, serta lemahnya penegakan larangan ramin di Indonesia dan peraturan CITES. Satu laporan, yang diterbitkan pada tahun 2005, menetapkan sejumlah rekomendasi kunci untuk dilaksanakan oleh beberapa kementrian dalam rangka penerapan peraturan CITES secara efektif.
Menurut pasal XIII, setelah menerima bukti yang memuaskan bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi tidak diimplementasikan secara efektif oleh Indonesia, seperti yang disajikan oleh investigasi ini, Sekretariat CITES dapat meminta agar Otoritas Manajemen CITES Indonesia – Kementrian Kehutanan – mengusulkan ‘tindakan perbaikan’ untuk menangani masalah tersebut.
Pasal 111 dan 112 dari peraturan Indonesia yang mengatur spesies yang terdaftar dalam CITES menentukan bahwa setiap ramin ilegal adalah ‘bisa disita’ dan mereka yang memperdagangkan ramin ilegal ‘bisa dikenai sanksi’. Tindakan perbaikan bisa termasuk penegakan peraturan CITES di Indonesia. Konsekuensinya adalah penyitaan ramin ilegal dalam pasokan kayu pulp APP serta APP dan pemasok ‘eksklusif’nya, Sinarmas Forestry, dituntut, didakwa, dan dihukum sesuai dengan undang-undang.
Selain itu dalam Konvensi PBB mengenai Perdagangan Internasional Spesies yang Terancam Punah (CITES) di Bangkok, Thailand (3-4 Oktober 2004) bahwa perdagangan ramin harus diatur dan diawasi secra ketat, tidak hanya oleh negara produsen tetapi juga seluruh negara anggota CITES.
Meskipun undang-undang internasional dirancang untuk mengatasi perdagangan ilegal spesies yang dilindungi seperti ramin, perdagangan internasional mendorong hilangnya hutan ramin di Indonesia.
Sebagaimana ditunjukkan oleh investigasi, pelanggaran APP akan larangan ramin Indonesia dan peraturan CITES yang relevan dengan negara manapun atau perusahaan importer atau perdagangan produk dari pabrik kertas APP di Indonesia atau Cina yang berdagang dengan Indah Kiat Perawang.
Sekitar 136 negara penandatanganan Konvensi CITES berdagang dengan pabrik APP, menunjukkan risiko perdagangan global yang terkait dengan pasokan kayu pulp MTH di Indah Kiat Perawang.
Lebih lanjut Bustar menjelaskan Greenpeace juga melakukan analisis peta yang memperlihatkan bahwa sejak penebangan ramin dilarang pada tahun 2001, paling tidak 180 ribu hektar hutan lahan gambut di Sumatera telah dihancurkan di konsesi-konsesi yang kini dikendalikan oleh APP.
Pemerintah harus memulai kajian komprehensif dari semua konsesi pulp, kelapa sawit, dan konsesi lain yang ada yang bertumpang tindih dengan hutan alam untuk memastikan apakah operasi merek sesuai dengan hukum ramin Indonesia dan peraturan CITES.
Pemerintah harus mengikuti rekomendasi yang dibuat dalam Kementrian Kehutanan melaporkan ramin dan mengakhiri semua penebangan habis hutan rawa gambut.Padahal hutan ini juga habitat penting bagi satwa terancam punah seperti harimau Sumatera yang kini tinggal tersisa sebanyak 400 ekor di alam bebas.

“Yang pertama kita membuktikan dengan jelas bahwa APP menebang ramin di kosesi mereka. Kemudian yang kedua kita juga memastikan secara regular ramin ditemukan di pabrik mereka. Jadi itu yang membuat kita memastikan bahwa APP telah melanggar aturan Indonesia,” demikian kata Bustar Maitar.
Bustar mengatakan tes independen dan riset rantai suplai yang dilakukan Greenpeace juga memperlihatkan bahwa kertas yang digunakan perusahaan besar dunia termasuk Xerox, National Geographic, dan Danone mengandung serat yang berasal dari hutan Indonesia.
Menurutnya produk-produk ini dimanufaktur menggunakan kertas APP yang disuplai dari Indah Kiat Perawang, pabrik yang terbukti menggunakan kayu ramin.
Bustar menyatakan pemerintah harus memberikan tindakan tegas kepada APP terkait dengan perusakan hutan Indonesia ini. “Langkah konkritnya adalah pemerintah mencabut ijin perusahaan yang melanggar aturan pemerintah,” ujar Bustar.
Sementara itu Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengaku belum membaca hasil investigasi Greenpeace tersebut. Meski demikian dia mengatakan jika terbukti bersalah maka penegakan hukum akan dilakukan.
“Itu penegakan hukum. Penegakan hukum yang sekeras-kerasnya, tidak pilih, tidak pandang bulu kepada siapapun yang melanggar tata ruang yang merusak kawasan hutan, yang melakukan eksploitasi berlebihan terhadap kawasan hutan sehingga bias merusak. Harus ada tindakan hukum,” kata menteri Zulkifli Hasan.



Sumber :